Masa tiga tahun pemerintahan Presiden Jokowi telah
berjalan dan sebagai negara demokrasi sudah sepatutnya dapat ditanggapi atau dinilai
oleh seluruh anak bangsa. Beragam penilaian itu tentu harus dilihat sebagai
sesuatu yang sehat, yakni sebagai cermin dari apa yang telah di lakukan selama
ini dan sebagai sebuah masukan demi berbagai langkah perbaikan. Presiden Jokowi
telah memberikan contoh baik tentang apa itu bekerja dalam skala besar.
Dengan semangat yang tertuang dalam moto kerja
bersama aparat pemerintah dipicunya untuk bekerja lebih cepat lagi, lebih efektif
lagi, dan lebih berdampak lagi. Hasilnya me mang mulai kelihatan di antara yang
paling terlihat dan tera sakan itu adalah dalam soal infrastruktur. Saat ini
pemerintah telah membangun ribuan kilometer jalan nasional dan ratusan
kilometer jalan tol.
Ratusan jembatan baru dengan bentangan hingga
belasan ribu meter juga di bangun. Itu dilakukan hingga kewilayah-wilayah yang
selama ini nyaris tidak tersentuh oleh pembangunan yang berarti termasuk di
Papua dan wilayah-wilayah perbatasan. Selain itu, pembangunan pelabuhan laut
juga makin digalakkan dengan target 100 pelabuhan pada akhir periode jabatan
presiden. Hal ini diupayakan untuk turut menyukseskan program tol laut sebagai
bagian dari target pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Sebagai tambahan, program-program yang terkait dengan pelayanan kesehatan dan
pendidikan juga patut diapresiasi. Secara umum, banyak hal yang lebih baik
terasakan dalam konteks pembangunan.
Meski menampakkan hasil nyata dalam pembangunan
fisik, masalah kemiskinan dan peng angguran masih menjadi problem serius. Saat
ini khalayak cukup ramai menceritakan keterbatasan atau kesulitan mereka dalam
pemenuhan kehidupan keseharian. Berbagai survei mengindikasikan hal tersebut
sebagai cerminan melemahnya ekonomi rakyat.
Selain itu, tidak seperti yang dibayangkan
pertumbuhan ekonomi hanya kisaran 5%, cukup jauhdari yangditargetkan. Selain
itu, beberapa janji saat kampanye dulu juga masih belum terealisasi sebagiannya
malah berpotensi tidak terealisasi sama sekali. Lebih dari itu, dalam konteks
kehidupan politik belum menunjukkan sebuah langkahlangkah yang dapat diharapkan
sebagai sebuah break - through bagi penguatan kedaulatan rakyat dan penciptaan
demokrasi yang lebih partisipa toris. Meski demokrasi tetap berjalan dan
institusi-institusi demo krasi tetap eksis, upaya untuk lebih menggalakkan dan
menguatkan kehidupan berpol itik yang lebih bersahabat dan lebih menopang
demokrasi tidak terlalu meyakinkan.
Masyarakat saat ini tampak lebih terbelah dari
sebelumnya. Keterbelahan masyarakat, pemanfaatan isu-isu SARA atau primordial.
Bangkitnya isu SARA sebagai komoditas dalam pertarungan politik menjadi bagian
yang berkelindan di dalamnya. Hal ini menghinggapi baik mereka yang berstatus
mayoritas maupun minoritas. Menurunnya peringkat kualitas demokrasi Indonesia
dalam catatan Freedom House dalam tiga tahun belakangan ini, dari negara dengan
kategori free menjadi partly free, bisa jadi disebabkan oleh persoalan ini.
Sebagai sebuah negara bangsa yang tegak dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika
situasi ini jelas sebuah kemunduran bahkan kemalangan.
Selain itu, beberapa kebijakan justru terlihat
demikian ”konservatif”. Sebagian kalang an melihatnya sebagai sebuah set back
(kemunuran) demokrasi. Dima jukannya rancangan Perppu Ormas berpotensi besar
membatasi kebebasan sipil. Peraturan yang tidak urgent itu meniadakan tahapan
yang lebih komprehensif dan meniad akan peran pengadilan dalam proses
pembubaran sebuah ormas. Beberapa kalangan menyatakan bahwa peraturan terkait
ormas yang sudah ada jauh lebih akomodatif terhadap kebebasan sipil.
Kemudian upaya-upaya m elanjutkan atau memper
tahankan kekuasaan kerap demikian ter ium menyengat yang sayangnya salah
kaprah. Hal ini ter lihat misalnya dalam soal Presidential Thresholds yang
bertabrakan dengan esensi pemilihan langsung tetap diupayakan.
Manipulasi logika yang sulit diterima nalar ini
sayangnya diamini pula oleh kebanyakan partai. Tidak heran jika kemudian banyak
orang menilai bahwa akarnya adalah demi memastikan kemenangan semata. Persoalan
lain yang juga masih mengganjal adalah instrumentalisasi hukum demi kepentingan
konsolidasi kekuasaan. Disini kerap dirasakan adanya standar ganda dalam
penanganan masalah hukum. Beberapa individu yang ditengarai sebagai oposan
dapat segera dijerat persoalan hukum, sedangkan mereka yang terindikasi sebagai
pendukung penguasa tampak sulit tersentuh. Sementara itu terjadi pula, terutama
pada awal-awal pemerintahan, pemanfaatan jalur hukum untuk menyingkirkan pihak
oposisi di sebuah partai.
Beberapa partai akhirnya menja di terpecah belah, di
mana sebagiannya tanpa ada penyelesaian berarti. Setelah era Orde Baru tidak
pernah terjadi lagi fenomena ketika pemerintah ”turut peduli” dengan persoalan
internal partai yang demikian kentara. Untuk itu, diharapkan memang agar
kedepannya keberhasilan Presiden Jokowi dalam beberapa hal dapat dilengkapi
dengan sikap dan kebijakan beliau yang lebih tegas dan lugas.
Ketegasan ini setidaknya diarahkan baikkepada
pihak-pihak yang coba memanfaatkan kedudukannya sekadar demi memperkaya atau
memperkuat posisi kekuasaan diri atau kelompoknya yang tentu akan merusak nama
baik presiden dan pemerintah. Ketegasan itu juga diperlukan untuk menjewer
aparatnya untuk dapat lebih fokus bekerja sesuai target dan aturan yang ada, tidak
saling serang, dan bergaduh sendiri.
Ketegasan itu juga diperlukan untuk menunjukkan
bahwa presiden memiliki oto ritas tertinggi dalam pemerintahan dan proses
pembuatan kebijakan. Hanya dengan berbagai ketegasan ini, presiden dapat on track, baik dalam menegakkan aturan
main maupun menyingkirkan berbagai benalu agar dapat lebih cepat lagi memenuhi
janji-janji politiknya.
Selain itu, perlu langkah-langkah yang lebih konkret
untuk lebih merangkul semua pihak. Presiden harus semakin menunjukkan dirinya
sebagai presiden seluruh rakyat Indonesia. Sebagai sosok pemimpin, Presiden
Jokowi harus terus membiasakan diri untuk berada di tengah (balancer) dan
menjadi jangkar bagi kapal yang bernama Indonesia dengan segenap keragaman
primordial maupun orientasi politiknya. Dalam konteks merangkul semua presiden
hendaknya tidak semata melihatnya sebagai ”investasi politik” belaka dengan
berorientasi mendekati mereka yang hanya punya potensi dukungan politik yang
besar. Daya rangkul presiden harus total, bukan parsial.
Presiden harus makin menyadari eksistensi beragam
kalangan adalah hakikat keindonesiaan, dimana kesemuanya berpotensi dan berhak
dalam memajukan bang sa dan negara. Selain itu, akan lebih baik Presiden Jokowi
dapat semakin komunikatif. Presiden harus lebih banyak berkata secara lebih
langsung, secara genuine bukan polesan, kepada khalayak. Bersedia lebih sering
dan lama berdialog dengan berbagai pihak dengan pernyataan-pernyataan yang
lebih menjawab keingin tahuan dan maksud dibalik kebijakan-kebijakannya. Namun,
akan lebih baik jika konten dari komunikasi yang dibangun nya itu juga
ditujukan untuk dapat selalu dikenang dan dijadikan pedoman bagi masyarakat
banyak. Hal itu hanya mungkin dilakukan jika pilihan kata bersifat menggugah,
dengan arti dalam dan visioner melintas generasi. Kekuatan kata-kata dapat
menggerakkan jutaan orang, mem persatukan dan menggerak kan dalam satu arah
yang diharapkan. Lebih dari itu, komunikasi yang tertata dan meyakinkan dapat
pula menjadi penawar kecurigaan atau kekhawatiran.
Saat ini dan pada masa-masa datang Presiden Jokowi
harus lebih aktif berkomunikasi mengingat banyak sekali persoalan sejatinya
dapat lebih cepat diselesaikan jika presiden angkat bicara dan tidak membiarkan
segalanya menjadi pergunjingan yang tidak jelas arah dan tujuannya.
Firman Noor,
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI; Dosen Ilmu Politik FISIP UI
KORAN SINDO, 20 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment