Dunia seperti pendulum jam gantung, tidak stasioner
namun dinamis antisipatif: kadang berat ke kiri, kadang mengarah ke kanan.
Selalu mencari keseimbangan baru, begitulah ”mantra” Laksamana TNI (Purn)
Sudomo, mantan Pangkopkamtib era Orde Baru dalam menggambarkan kecenderungan
suatu zaman. Petuah tersebut sampai kini masih terasa relevan jika dikaitkan
dengan kondisi global saat ini, apalagi setelah kemenangan Donald Trump, di
mana dunia cenderung ”memihak ke kanan” alias anti kemapanan.
Kelompok anti kemapanan AS telah membuat masyarakat
dunia terkaget-kaget dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden ke-45 AS,
yang akan menggantikan Barack Obama efektif pada 20 Januari 2017. Tahun 2016,
yang ditandai dengan kelesuan ekonomi global, terutama di negara berkembang,
mendapat dua kejutan signifikan, yaitu Brexit dan ”USxit” (konsekuensi terpilihnya
Trump). Kebijakan Trump yang disampaikan dalam masa kampanye relatif akan mudah
diimplementasikan mengingat penguasa AS saat ini adalah republiken. Mulai dari
presiden, Senat, dan Kongres AS didominasi Partai Republik.
Di samping itu, satu hakim MA AS yang kosong karena
meninggal beberapa waktu lampau sudah dapat dipastikan akan diisi kandidat
hakim agung ”rasa” republiken. Maka trias politikanya Montesquieu, yang membagi
kekuasaan atas tiga pilar, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, mengalami
pejoratif di kancah tata negara AS saat ini. Walaupun berbeda personel,
hakikatnya terjadi satu pemusatan kekuasaan, yaitu pada republiken.
Setelah USxit dunia semakin dihadapkan pada
ketidakpastian, terutama prospek perekonomian global ke depan. Dengan demikian,
konsekuensi apa yang akan terjadi setelah terpilihnya Donald Trump sebagai
presiden AS? Setidaknya terdapat 10 konsekuensi utama dengan hadirnya Trump
sebagai presiden.
Konsekuensi
Pertama, pertumbuhan ekonomi AS akan melaju di atas
pertumbuhan ekonomi rata-rata selama periode kedua kepresidenan Barack Obama,
lebih tinggi dari 2,2 persen per tahun. Ini terjadi karena keengganan
republiken terhadap ekspansi belanja publik dan kebijakan pemberlakuan batas
utang publik untuk menutupi defisit fiskal, hanya berlaku tatkala demokrat yang
memerintah. Namun dengan presiden dari republiken, kongres ataupun senat akan
meningkatkan belanja publik dan merelaksasi batas utang publik, sebagaimana
terjadi pada masa Presiden Ronald Reagan dan George W Bush. Dengan demikian,
Trump akan mudah mengimplementasikan stimulus fiskal ala Keynesian untuk
mendongkrak perekonomian AS sebagaimana Obama sering usulkan, tetapi kandas
dihadang kongres.
Defisit fiskal yang terjadi akibat kebijakan itu
lebih menyerupai supply-side economics daripada stimulus Keynesian. Namun,
dampaknya sama berupa pertumbuhan ekonomi ataupun inflasi. Tatkala perekonomian
AS melaju mendekati batas pemakaian tenaga kerja penuh (full employment), tambahan pertumbuhan akan mendorong laju inflasi
lebih cepat. Berita buruk akan terjadi tahun 2018 dan setelahnya.
Kedua, reformasi perpajakan seperti kebijakan pengampunan
pajak untuk perusahaan multinasional agar merepatriasi pendapatan luar
negerinya dipastikan akhirnya menjadi undang-undang. Dominasi republiken akan
memudahkan persetujuan pemotongan pajak yang akan dikompensasi dengan pinjaman
publik. Reformasi perpajakan akan menciptakan defisit anggaran jauh lebih
besar, yang pada gilirannya akan memstimulasi pertumbuhan dan inflasi lebih
tinggi lagi.
Ketiga, peningkatan laju pertumbuhan ekonomi AS akan
dipercepat adanya deregulasi. Ketika perdebatan tentang undang-undang
lingkungan dan energi mendominasi berita utama, dampak ekonomi terbesar akan
datang dari deregulasi perbankan. Deregulasi mengarah pada standar yang lebih
longgar untuk penyaluran pinjaman, khususnya untuk rumah tangga kelas menengah.
Maka akan terjadi lonjakan pembangunan permintaan properti dan lonjakan
konsumsi masyarakat yang didanai oleh pinjaman. Terjadi peningkatan leverage.
Deregulasi berlebihan akan mendorong terulangnya krisis keuangan global 2008,
yang tanda-tandanya muncul pada 2007. Perlu dicatat, risiko akan muncul tahun
2018 dan setelahnya.
Stabilitas Geopolitik
Keempat, kehadiran Trump akan membawa stabilitas geopolitik
global setidaknya jangka pendek. Preferensi Trump atas realitas politik yang
ada—dibanding dengan intervensi liberal Obama—akan menstabilkan hubungan AS
dengan Rusia ataupun dengan Tiongkok ketika realitas politik dunia terbagi atas
berbagai pengaruh. Trump akan tutup mata atas kontrol Rusia terhadap Ukraina
dan Suriah, ditukar dengan pengendalian AS atas Eropa tengah dan kawasan
Baltik. Dominasi Tiongkok atas Asia adalah suatu keniscayaan asal Tiongkok
menghindari perang terbuka dengan Jepang, Taiwan, dan negara-negara Asia lain
yang keamanannya didukung AS. Timur Tengah akan tetap menjadi kancah pertikaian
geopolitis, tetapi preferensi Trump akan kontrol pemimpin lokal yang kuat
daripada sistem demokrasi akan menjamin pemulihan stabilitas, dengan mengorbankan
prinsip HAM.
Kelima, terpilihnya Trump akan memaksa warga AS menyadari
adanya kelemahan sistem demokrasinya. Sebab, walaupun Trump terpilih, Trump
kalah suara lebih dari 2 juta suara, Trump hanya menang dalam sistem pemilihan
elektoral. Ini akan memaksa perubahan dari sistem pemilihan elektoral
(electoral college) ke sistem yang berdasarkan jumlah suara terbanyak (popular
vote). Untuk itu, diperlukan setidak-tidaknya persetujuan dari sejumlah negara
bagian yang mewakili 61 persen suara pemilih menuju perubahan sistem pemilihan
presiden AS.
Adanya oposisi kuat terhadap kebijakan Trump di
negara-negara bagian utama, seperti California dan New York, akan menyemangati
pemilih untuk mereduksi kebijakan konservatif federal dengan undang-undang
negara bagian yang lebih progresif, seperti UU tentang kualitas udara,
kesehatan, aborsi, imigrasi, dan pengendalian senjata.
Keenam, ini berita buruknya. Untuk pertama kali sejak
1930, AS memiliki presiden yang berpandangan proteksionis terhadap perdagangan
internasional. Walaupun tidak dapat dimaknai secara literal, apabila Trump
gagal memperkecil defisit neraca perdagangannya sebagaimana yang ia janjikan,
republiken akan ditinggalkan konstituennya, terutama pemilih di daerah dan
industri yang sedang mengalami penurunan kinerja.
Dengan demikian, warna kebijakan AS ke depan akan
cenderung mereduksi perdagangan bebas, globalisasi, dan pasar terbuka. Tak satu
pun dapat memprediksi besarnya dampak pasti karena adanya perubahan rezim tata
pengelolaan ekonomi global sejak tahun 1980 tersebut. Yang jelas, dampaknya
akan negatif terhadap negara-negara emerging economies dan
perusahaan-perusahaan multinasional, yang model pembangunan dan strategi
bisnisnya bertumpu pada pasar bebas dan aliran modal yang bebas.
Ketujuh, ini dampaknya lebih segera, yaitu berasal dari
kebijakan yang terkait dengan pemotongan pajak dan peningkatan belanja publik
di suatu ekonomi yang telah mendekati full employment. Ini berarti
mengakselarasi inflasi, meningkatkan tingkat bunga, dan kombinasi keduanya. Ditambah
dengan proteksi perdagangan dan kebijakan penghapusan pekerja migran,
akselerasi inflasi dan peningkatan tingkat bunga jangka panjang akan lebih
dramatis. Ini akan berdampak negatif terhadap pasar keuangan internasional,
terlepas dari apakah Fed akan melakukan kebijakan moneter yang lebih
konstraktif untuk mengantisipasi akselerasi inflasi, ataupun Fed membiarkan
perekonomian AS memanas hingga inflasi meningkat dalam 1-2 tahun ke depan.
Kedelapan, dengan ekspektasi percepatan pertumbuhan ekonomi
AS yang disertai peningkatan tingkat bunga jangka panjang, penguatan dollar AS
yang berlebihan akan menjadi risiko besar yang mengemuka. Meskipun dollar AS
saat ini telah mengalami apresiasi jauh melebihi nilai fundamentalnya, dampak
dari ekspektasi tersebut akan menjadikan dollar AS lebih ”perkasa”.
Kesembilan, dengan adanya kombinasi menipisnya suplai dollar
AS di pasar internasional dan proteksi nasional, negara-negara berkembang akan
mengalami masalah perekonomian serius; kecuali bagi negara-negara yang strategi
pembangunannya kurang bergantung pada perdagangan internasional dan pembiayaan
yang bersumber dari dana asing, seperti Brasil, Rusia, dan India.
Terakhir, konsekuensi paling berbahaya dari kemenangan Trump
adalah efek tular pada Eropa. Kemenangan Trump seperti Brexit yang tak
diperkirakan. Saat ini Trump merupakan penanda kuat yang dapat memicu krisis di
kawasan Eropa dan mengancam bubarnya Uni Eropa. Berdasarkan jajak pendapat,
kemungkinan yang akan terjadi dalam waktu dekat adalah kemenangan referendum
konstitusi Italia, pemilihan presiden Austria, serta keunggulan Le Pen di
Perancis. Semua mengarah pada senjakalaning Uni Eropa.
Meredam Efek Trump
Mengingat konsekuensi di atas yang secara
keseluruhan berdampak negatif, ada beberapa hal yang perlu dicermati untuk
meredam Trump’s effect.
Pertama, harus ada negara yang berinisiatif
mengambil alih komando tata perekonomian global baru yang ditinggalkan AS.
Dalam hal ini kandidat terkuat adalah Tiongkok. Tiongkok akan mampu mengambil
peran karena telah mencapai upper middle income country, negara dengan
perdagangan luar negeri terbesar dunia, perekonomian terbesar kedua dunia,
bahkan dengan tingkat perekonomian terbesar jika menggunakan ukuran paritas
daya beli (purchasing power parity).
Tiongkok, tahun 2014 PDB-nya mencapai 10,3 triliun
dollar AS, naik dari hanya 2,3 triliun dollar AS tahun 2005. Maka, PDB per
kapitanya telah mencapai 14.000 dollar AS. Bahkan beberapa tahun lagi akan naik
ke high income country jika tidak terjebak middle income trap. Karena itu,
Tiongkok akan terus menjadi mesin ekonomi utama dunia, yang berkontribusi
sekitar 30 persen dari pertumbuhan global setidaknya sampai tahun 2020.
Agar Tiongkok mampu mengambil peran tersebut, harus
ada inisiatif lain yang menggabungkan peran Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang
dalam kepemimpinan perekonomian global. Setidak-tidaknya tiga macan tersebut
mampu meredam efek Trump agar tidak menjalar ke Asia Timur atau bahkan Asia.
Peran tersebut akan semakin mulus jika ASEAN memperkuat posisinya.
Kedua, Indonesia harus cepat mengubah orientasi
ekonominya yang menekankan pertumbuhan ekonomi pada kekuatan domestik. Ini
mengingat Indonesia yang berlimpah dengan sumber daya alam sebagai input dan
jumlah penduduk yang besar—250 juta—sebagai pasar potensial. Komposisi penduduk
muda karena bonus demografi juga menjadi modal dasar untuk menggerakkan mesin
perekonomian nasional; bukan malah menjadi beban pembangunan. Oleh karena itu,
penekanan pada akselerasi, baik konsumsi maupun investasi domestik, harus
dimaksimalkan dengan tumpuan pada investasi infrastruktur serta kebijakan yang
mengarah pada reformasi struktural, sebagaimana visi Presiden Jokowi.
Terakhir, bagi negara yang tidak memiliki cadangan devisa
berlimpah seperti Indonesia, cadangan devisa harus dihemat sehemat mungkin.
Cadangan devisa yang memadai secara psikologis memberikan rasa aman dan nyaman
bagi warganya sehingga tidak mudah menjadi bulan-bulanan spekulator.
Tri Winarno, Peneliti Ekonomi Senior Bank Indonesia
KOMPAS, 13 Desember 2016
No comments:
Post a Comment