Pemilihan Presiden 2019 masih dua tahun lagi, tetapi
gaungnya sudah sangat kencang sejak panasnya suhu politik di Pilkada DKI
Jakarta 2017. Isu ketimpangan perekonomian dan ketakadilan pun merebak kembali
dalam kancah politik dan perekonomian nasional. Hal ini bukan tak mungkin bisa
jadi salah satu bahan baku yang bisa diolah sedemikian rupa untuk memenangi
Pilpres 2019.
Berbicara mengenai ketimpangan perekonomian, pasti
tak bisa dilepaskan dengan pertumbuhan ekonomi. Bahkan sering terjadi pertentangan
tidak berujung pada solusi konkret: mana lebih penting, pertumbuhan ekonomi
atau pemerataan ekonomi? Namun, intinya Indonesia butuh pertumbuhan berkualitas
yang berkeadilan untuk semua lapisan ekonomi baik yang miskin dan kaya.
Kelihatan mudah dibicarakan, tetapi sulit dilaksanakan kalau kita tidak fokus
dan asyik memprioritaskan kepentingan golongan masing-masing.
Ketimpangan dan ketakadilan perekonomian bisa
diatasi kalau Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang kuat dan
berkesinambungan. Bagaimana membagi kue perekonomian nasional kalau
perekonomiannya sendiri tidak solid dan stabil? Indonesia membutuhkan model
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang mampu menyerap 1,8 juta angkatan kerja
baru tiap tahunnya.
Investasi Asing
Ke depan, tantangan perekonomian Indonesia tak
mudah. Tren pertumbuhan ekonomi cenderung turun dan stagnan. Sesudah krisis
ekonomi global 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di atas 5,5 persen
dengan rata-rata tumbuh 6,1 persen selama 2010-2013. Namun, tiga tahun terakhir
(2014-2016) turun menjadi 5 persen.
Mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu
konsumsi rumah tangga cenderung stagnan. Tampaknya perekonomian kita secara
tidak sadar terhanyut dan begitu bergantung hanya pada kekuatan konsumsi rumah
tangga. Sejak 1960, dalam kurun 56 tahun, rata-rata kontribusi konsumsi rumah
tangga sekitar 54 persen dari total produk domestik bruto (PDB).
Perekonomian Indonesia seolah terlena dalam zona
nyaman. Ini tak bisa dibiarkan begitu saja. Jangan biarkan potensi perekonomian
yang berlimpah, yang didukung bonus demografi, terbuang sia-sia. Jangan biarkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia turun sebelum mencapai titik keemasan atau
puncaknya. Sebagai catatan, perekonomian Indonesia pernah berjaya dengan tumbuh
10,9 persen tahun 1968, kemudian 9,9 persen pada 1980. Sebelum krisis ekonomi
dan moneter 1997/1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi 7,5-8,2
persen pada 1994-1996. Hal ini menunjukkan kita punya peluang bisa keluar dari
pertumbuhan ekonomi seperti sekarang. Logiskah kalau pertumbuhan ekonomi kita
menuju level 7 persen atau lebih?
Dari pendekatan permintaan agregat, setelah konsumsi
rumah tangga, secara rata-rata peranan investasi dalam perekonomian Indonesia
sekitar 24 persen dalam periode 1960-2016. Setelah itu diikuti pengeluaran
pemerintah (8 persen) dan perdagangan internasional (ekspor-impor) sebesar 4
persen. Oleh karena itu, mendorong investasi baik domestik dan asing merupakan
pilihan rasional dan tentu dampaknya jauh lebih besar dibandingkan pengeluaran pemerintah
dan perdagangan internasional.
Kita tak bisa berharap banyak dari pengeluaran
pemerintah karena terbatasnya ruang fiskal (tahap konsolidasi dan reformasi
penerimaan/pengeluaran). Sementara, dari perdagangan internasional lebih sulit
lagi sebab kondisi perdagangan internasional makin protektif dan ancaman
perlambatan pertumbuhan ekonomi global, baik negara maju (advanced economies) dan berkembang (emerging economies).
Melihat historis pertumbuhan investasi dalam
perekonomian nasional, seharusnya masih ada kesempatan untuk merajut dan menata
pertumbuhan ekonomi yang tidak hanya bertumpu pada konsumsi rumah tangga. Pada
2010-2012, pertumbuhan investasi sekitar 8-9 persen, tetapi sayangnya dalam
empat tahun terakhir (2013-2016) cenderung menurun hanya 4-5 persen.
Untuk mencapai pertumbuhan 7 persen, setidaknya
Indonesia butuh pertumbuhan investasi sekitar 10 persen. Artinya, diperlukan
pertumbuhan investasi dua kali lipat dari pertumbuhan investasi tahun 2016 yang
hanya 4,5 persen.
Kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz
al-Saud ke Indonesia jelas menunjukkan betapa ketatnya persaingan mendatangkan
investor. Investasi Arab Saudi di Indonesia 6 miliar dollar AS, atau hanya 10
persen dibandingkan investasinya ke Tiongkok yang 65 miliar dollar AS.
Investasi asing langsung (FDI) jelas menunjukkan
Indonesia masih kalah dari negara-negara di kawasan. Rata-rata FDI ke Indonesia
26,6 miliar dollar AS selama 2011-2016, lebih rendah dibandingkan Vietnam
(29,6) miliar dollar AS, Malaysia (33,6 miliar dollar AS), dan India (34,0
miliar dollar AS).
Masih ada ruang
Semasa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla,
tanda-tanda perbaikan sudah mulai terlihat melalui 15 paket kebijakannya,
walaupun implementasi masih banyak kendala. Daya saing Indonesia membaik, dari peringkat
54 tahun 2007 menjadi 41 tahun 2016, tetapi masih di bawah India, Thailand,
Tiongkok, dan Malaysia. Dari sisi kemudahan berusaha juga membaik dari
peringkat 120 ke 106, kemudian peringkat 91 pada 2017. Sayangnya, peringkat ini
masih di bawah Vietnam dan Tiongkok. Menurut The Economist dan JBIC, Indonesia
termasuk peringkat 3 sebagai tempat investasi menarik di bawah India dan
Tiongkok.
Kondisi ini menunjukkan masih ada ruang dan aspek
positif dari perekonomian Indonesia. Kita harus segera melakukan berbagai
terobosan di bidang infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan, pelabuhan, dan tol
laut), perizinan dan peraturan di pusat dan daerah, kepastian hukum, serta
tentunya stabilitas politik.
Ketimpangan infrastruktur antara Jawa dan luar Jawa
merupakan kendala terbesar perekonomian Indonesia. Bagaimana mungkin investasi
akan naik signifikan dan menyebar ke luar Jawa kalau hambatan utamanya adalah
infrastruktur. Kebutuhan total biaya infrastruktur tahun 2015-2019 sangat
besar, 341,4 miliar dollar AS atau Rp 455 triliun. Hampir mustahil pemerintah
dapat membiayai sendiri proyek-proyek infrastruktur. Karena itu, Indonesia
harus cerdik dan punya strategi pemasaran yang andal untuk menarik investor
asing dan lembaga internasional.
Indonesia harus berubah secara radikal di berbagai
lini. Indonesia seharusnya bisa lebih baik daripada negara-negara sekitar,
karena kita punya modal sumber alam melimpah dan bonus demografi. Motor
penggerak perekonomian tidak bisa hanya bertumpu pada konsumsi rumah tangga,
tetapi juga investasi. Pusat pertumbuhan ekonomi yang hanya bertumpu di Jawa
harus mulai digeser ke luar Jawa. Industri manufaktur harus menopang permintaan
domestik sehingga dapat mengurangi impor.
Indonesia harus fokus dengan permasalahan
domestiknya dan mengurangi ketergantungan dengan perekonomian global yang
pertumbuhannya cenderung melambat. Pemerintah perlu diberi kesempatan melakukan
tindakan riil untuk membawa terbang perekonomian Indonesia tanpa diwarnai
karut-marut politik.
Anton
Hendranata, Chief Economist PT Bank Danamon
Indonesia Tbk
KOMPAS, 31 Mei 2017
No comments:
Post a Comment