TAK terasa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
memasuki tahun ketiga. Dalam bidang kemaritiman ada sejumlah catatan penting.
Catatan ini didasari kinerja pembangunan serta variabel-variabel yang
memengaruhinya. Catatan ini berisi capaian selama tiga tahun ini termasuk
positif dan negatifnya, beserta tantangan dan masalah yang harus diselesaikan
dua tahun mendatang.
Ada beberapa capaian yang menonjol dalam perjalanan
tiga tahun ini. Pertama, menurut Hasyim Djalal, ahli hukum laut internasional,
harus diakui bahwa Indonesia belum bisa disebut sebagai negara maritim. Hal ini
disebabkan, meski luas wilayah laut melebihi daratan, kontribusinya terhadap
ekonomi nasional belum maksimal. Tentu membangun ekonomi maritim tidak bisa
seperti membalik telapak tangan, tetapi membutuhkan proses panjang. Namun,
setidaknya kita sudah memulai secara serius sejak 2014. Salah satu yang
terpenting ialah berupa makin kuatnya kesadaran politik untuk membangun sektor
ini.
Memang menurut Kementerian Koordinator Bidang
Kemaritiman (Kemenkomar), potensi ekonomi sektor ini luar biasa, sekitar
US$1,33 triliun per tahun, yang terdiri dari potensi perikanan budi daya (16%),
energi dan pertambangan (16%), transportasi laut (2%), wisata bahari (4%),
bioteknologi (14%), industri jasa kelautan (15%), industri pengolahan ikan
(7%), dan perikanan tangkap (1%). Dari sejumlah potensi itu, pemanfaatannya
belum maksimal. Karena itu, agenda pentingnya ialah bagaimana sektor-sektor
tersebut bisa dimaksimalkan potensinya.
Kedua, tol laut yang diarahkan untuk meningkatkan
konektivitas antarwilayah mulai mengalami kemajuan. Menurut pemerintah, tol
laut ialah konektivitas laut yang efektif berupa adanya kapal yang melayari
secara rutin dan terjadwal dari barat sampai ke timur Indonesia. Tujuannya
untuk menjangkau dan mendistribusikan logistik ke daerah tertinggal, terpencil,
terluar dan perbatasan, serta untuk menjamin ketersediaan barang dan mengurangi
disparitas harga guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bagaimana
hasilnya? Beberapa komoditas mengalami penurunan harga. Data Kemenkomar (2016)
menunjukkan, di Pulau Sabu NTT, misalnya, harga beras turun 10%. Di Namlea
bahkan harga beras turun 22%, harga gula turun 28%, harga daging ayam ras turun
49%, dan harga bawang merah turun 20%. Tentu diharapkan harga-harga kebutuhan
pokok lainnya bisa turun dan relatif sama dengan di Jawa.
Ketiga, dalam kurun waktu 2015-2016, pembangunan
pelabuhan laut telah mencapai 57 lokasi dari 306 lokasi yang direncanakan
hingga 2019. Untuk pelabuhan laut, salah satu ukuran yang sering digunakan
ialah dwelling time, dari proses pembongkaran, proses penyelesaian kewajiban
perizinan, hingga proses pengeluaran barang sampai dengan pintu gerbang keluar
pelabuhan. Sebelum 2014, dwelling time membutuhkan waktu 5,7 hari. Namun, saat
ini sudah bisa dikurangi hingga 3,35 hari. Diharapkan pada tahun ini bisa mencapai
2,7 hari. Di sinilah efisiensi bongkar muat dan perizinan di pelabuhan makin
dituntut dan pengembangan teknologi dan SDM untuk hal ini sangat diperlukan
agar world port ranking kita juga bisa meningkat. Bayangkan, pada 2011,
Pelabuhan Tanjung Priok menempati posisi ke-91 jauh di bawah Tanjung Pelepas
Malaysia (33), Port Kelang Malaysia (21), Shenzen Tiongkok (14), Singapura (2),
dan Shanghai (1).
Keempat, data pemerintah menunjukkan angkutan laut
mengalami peningkatan 7,5% untuk kapal Pelni dan 11,8% untuk kapal perintis.
Hal itu tidak lepas dari pembangunan pelabuhan penyeberangan, penambahan 33
unit kapal perintis dan 11 unit kapal penyeberangan. Transportasi laut termasuk
yang akan selalu tumbuh positif. Namun, tetap diperlukan langkah lanjutan seperti
pengerukan alur pelayaran, peningkatan keselamatan dan keamanan pelayaran,
serta peningkatan kualitas pelayanan.
Kelima, ketiga hal tersebut sekaligus menunjukkan
sistem logistik kita sudah makin membaik. Memang ditergetkan bahwa biaya
logistik bisa makin ditekan dari 24% menjadi 18% PDB. Bandingkan dengan Korea
selatan 16,3% PDB, Jepang 10,6%, dan Amerika 10,1% PDB. Wajar bila logistic
performance index kita versi World Bank berada di rangking ke-75, jauh di bawah
Malaysia (29) dan Thailand (35).
Perbaikan sistem logistik tersebut memerlukan
langkah komprehensif, yakni mulai penguatan infrastruktur, pemangkasan ekonomi
biaya tinggi, perbaikan manajemen pelabuhan, hingga tentu juga perbaikan sarana
dan prasarana darat. Apa artinya di laut lancar tapi di darat sebaliknya.
Antara transportasi laut dan darat sangat berhubungan dan menentukan biaya
logistik kita. Oleh karena itu, diperlukan pembangunan transportasi terpadu
antara laut dan darat.
Tumbuh di atas 5%
Keenam, sektor perikanan tercatat sebagai sektor
yang konsisten tumbuh di atas 5%, melebihi pertumbuhan ekonomi nasional.
Capaian penting dalam tiga tahun ini ialah kedaulatan bangsa kita di laut makin
kuat. Ini merupakan hasil konsistensi pemerintah dalam menanggulangi IUU
Fishing. Reputasi kita di dunia internasional makin meningkat, bahkan Indonesia
telah dijadikan rujukan penting bagi negara-negara lain dalam pemberantasan IUU
Fishing. Tentu tak hanya kedaulatan bangsa yang terjaga, tetapi juga
keberlanjutan sumber daya makin tercipta. Stok sumber daya makin melimpah dan
ini mestinya merupakan peluang bagi tumbuhnya industri perikanan nasional.
Agenda terpenting saat ini ialah bagaimana
konsistensi pemberantasan IUU Fishing terus terjaga dan pada saat yang sama
pertumbuhan di perikanan tangkap dan budi daya makin didorong. Termasuk di
dalamnya akselerasi penanganan penggantian alat tangkap eks cantrang sehingga
Permen No 2/2015 bisa ditegakkan, sumber daya makin lestari, dan masalah sosial
bisa terselesaikan. Selain itu, investasi pengusaha nasional di perikanan
tangkap perlu didorong. Mestinya perbankan bisa melihat peluang bisnis yang
menjanjikan ini dan lalu meningkatkan alokasi kredit di sektor perikanan
tangkap. Hal yang tak kalah penting ialah pengembangan perikanan budi daya yang
potensinya mencapai 16% dari total potensi ekonomi kelautan nasional. Hal itu
disebabkan upaya menggenjot produksi sulit diharapkan dari perikanan tangkap
karena memang sumber dayanya yang terbatas. Bahkan tren dunia juga menunjukkan
produksi budi daya akan melampaui tangkap. Di Indonesia hal ini sudah terbukti.
Meski demikian, upaya peningkatan produksi budi daya diharapkan terus
dilakukan.
Ketujuh, Presiden telah mengeluarkan Perpres No
3/2017 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Percepatan Industrialisasi Perikanan
sebagai tindak lanjut Inpres No 7/2016. Ini merupakan bukti dukungan total
Presiden untuk membangun sektor kelautan dan perikanan, dan dapat menjadi
capaian penting. Namun, capaian tersebut akan diukur dari efektivitas perpres
tersebut. Artinya, perpres tersebut dikatakan berhasil bila mampu menggerakkan
25 kementerian terkait untuk menyukseskan pembangunan perikanan. Salah satu
yang dapat terlihat ialah dari sisi alokasi anggaran setiap kementerian terkait
untuk mendukung sektor perikanan. Walau demikian, hal ini baru bisa dilihat
pada 2018 karena perencanaan anggaran baru bisa dilakukan pada 2017.
Kedelapan, sentra kelautan dan perikanan terpadu
(SKPT) di 12 pulau terdepan serta sentra modernisasi perikanan di lima lokasi
telah dikembangkan pada 2017. SKPT merupakan bentuk implementasi gagasan
membangun Indonesia dari pinggiran. Diharapkan, pengembangan SKPT bisa menjadi
sumber pertumbuhan ekonomi baru di pulau terdepan. Ini memang tidak mudah
karena mesti melibatkan lintas kementerian dan dukungan daerah. Ini pun menjadi
strategis bagi penguatan kedaulatan bangsa karena kuatnya perikanan di pulau
terdepan akan bisa mencegah masuknya kembali kapal-kapal asing.
Kesembilan, wisata bahari diharapkan bisa menyumbang
peningkatan jumlah wisatawan yang ditargetkan mencapai 15 juta orang pada 2017.
Promosi Wonderful Indonesia sangat masif dan efektif mengangkatkan citra wisata
Indonesia. Untuk wisata bahari, yang diperlukan adalah promosi. Banyak
destinasi wisata bahari perlu dipromosikan karena Indonesia kita memang sangat
kaya akan keindahan alam. Bayangkan, kekayaan keanekaragaman hayati kita yang
luar biasa, terdiri dari 8.500 spesies ikan dan 950-an jenis terumbu karang.
Juga, luas terumbu karang Indonesia sekitar 51 ribu km persegi atau 18% dari
terumbu karang dunia. Namun, wisata bahari punya masalah berkaitan dengan
keterbatasan infrastruktur di lokasi destinasi. Inilah yang menjadi titik lemah
kita dalam pengukuran travel and tour competitiveness index (TTCI). Karena itu,
upaya promosi juga perlu diikuti perbaikan infrastruktur dan pengembangan
kuantitas dan kualitas kapal angkutan laut.
Kesembilan catatan tersebut harus diikuti penguatan
budaya bahari masyarakat kita sehingga pembangunan kemaritiman tidaklah sekadar
berdimensi ekonomi, tetapi juga merupakan bagian dari pembangunan manusia dan
lingkungan.
Arif Satria,
Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
MEDIA INDONESIA, 23 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment