Keprihatinan primer dari tulisan ini bukanlah
mengenai teori, melainkan kondisi. Masyarakat, sampai tingkat tertentu, adalah
arena di mana para pemangku kepentingan berkonflik dan bersaing. Namun, bukan
tak terelakkan dan juga bukan sesuatu yang bisa diterima bagi suatu masyarakat
majemuk seperti Indonesia jika terus-menerus ribut siang dan malam. Walau
demikian, begitulah keadaan kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
sementara lembaga- lembaga publik tidak peduli pada perkembangan motif egoistis
dari organisasi kemasyarakatan, terutama partai-partai politik yang tidak kenal
fatsun dalam berpolitik.
Adalah satu keharusan kalau kemerdekaan
negara-bangsa perlu dibela. Kita sudah membentuk angkatan bersenjata demi
pembelaan tersebut. Si vis pacem para bellum. Tidak ada satu pun negara-bangsa
yang berupa lokalitas fisik semata-mata. Sebuah hotel adalah sebuah lokalitas
fisik. Untuk kelangsungan eksistensinya, ia butuh penghuni (occupants). Negara-bangsa tidak begitu.
Demi kelangsungan hidupnya (survival),
ia harus memiliki warga negara (citizen),
yaitu occupants/penduduk yang sudah menyadari hak dan kewajibannya berkat
pendidikan umum. Berarti pemerintah yang demokratis diniscayakan berperan
sekaligus sebagai “pelayan” dan “tutor” karena kewarganegaraan (citizenship) adalah suatu pola pikir (mind-set).
Bela Negara
Untuk membela negara-bangsa sampai hari kiamat
dibutuhkan warga negara bukan hanya sebatas penduduk. Warga negara memiliki
keterikatan-keterlibatan dibanding penduduk yang bersifat lepas. Berhubung bagi
warga negara kelangsungan hidup dimulai dari pikiran, di situlah harus dibangun
benteng-benteng ketahanan demi kelangsungan hidup negara-bangsa. Jadi pembela
negara-bangsa yang paling efektif dan sangat bisa diandalkan adalah warga
negara yang merasa tidak perlu pergi ke mana pun (he/she has nowhere to go).
Mereka terpanggil untuk bertahan. Bukan karena dilarang pergi oleh
pemerintah/penguasa, tetapi karena sadar bahwa hanya di Indonesia dia merasa
di-uwongke, tidak hanya berpeluang lebih kaya (to have more), tetapi
lebih-lebih to be more, lebih bermartabat/harga diri.
Mereka diajak bicara mengenai pembangunan di lokasi
di mana dia bermukim. Dia dilibatkan dalam setiap usaha yang disusun untuk
memajukan hidup dan kehidupan warga lokal. Dia tidak hanya dijadikan
“penonton”, tetapi “peserta aktif”. Dia diundang untuk turut bermusyawarah ke
arah mufakat. Dia tidak boleh diwakili atau mewakili orang lain.
Ketidakpahamannya mengenai urusan pembangunan bukan
alasan untuk absen. Pejabat pemerintah (pusat atau daerah otonom), melalui
peran “pelayanan” dan tutorship-nya mengembangkan pemahaman yang mendasari
martabatnya sebagai warga negara (citizen).
Kesadaran ini menempa dia menjadi “prajurit patriotik”, bukan “serdadu
profesional”. Semua perang gerilya melawan penjajah membuktikan hal ini.
Gerilyawan menghayati perang kemerdekaan bukan hanya selaku peperangan bangsa,
melainkan perangnya sendiri, demi kedaulatan negara-bangsa. Ini jelas tecermin
dalam pertempuran arek-arek Surabaya, perjuangan muda-mudi di “Bandung lautan
api” dan serbuan Jenderal Sudirman di Salatiga serta perlawanan rakyat Aceh
melawan Belanda pada masa Perang Sabil.
Kebudayaan dan Peradaban
Jika demikian, proses pembangunan nasional tidak
boleh lagi terfokus pada nilai tambah benda (produk nasional bruto/GNP)
melainkan nilai tambah human. Berarti pemerintah melalui peran kepelayanan dan
bimbingannya berusaha mengembangkan “kebudayaan manusiawi” (human culture).
Budaya manusiawi adalah semua nilai hidup dan kehidupan manusia yang membuatnya
meningkat di atas kondisi hewani dan yang memungkinkannya semakin berbeda
dengan hidup dan kehidupan hewani.
Kebudayaan adalah sistem nilai yang dihayati oleh
suatu bangsa. Kebudayaan Indonesia adalah sistem nilai yang dihayati oleh
bangsa Indonesia. Nilai human bukan aturan tetapi iluminasi yang sorotan cahayanya
membuat batas antara keadilan dan kesewenang-wenangan, baik dan buruk, betul
dan keliru, cara dan tujuan, menjadi begitu jelas hingga tidak tersangkal.
Nilai-nilai ini seharusnya tidak ditanggapi sebagai entitas yang abstrak,
tetapi lebih berupa ketentuan, ukuran dan norma yang dihayati selaku panduan
bagi perilaku manusia. Maka, strategi kebudayaan berupa membiasakan anak
Indonesia sedini mungkin menggali, mengenal, mempelajari, menguasai dan
menghayati nilai-nilai yang diakui oleh komunitas berguna bagi kehidupan
pribadi, keluarga, bangsa dan negara.
Budaya strategis adalah nilai yang solusi
persoalannya mempermudah dan memperlancar persoalan-persoalan relevan yang
terkait. Bila demikian ia adalah tak lain daripada pendidikan. Ia menjadi
bagian konstitutif dari kebudayaan. Indonesia bisa hidup abadi melalui
kultivasi dari dunia fisik di bawah kita dan di sekitar kita serta dunia
intelektual dan moral di dalam (diri) kita. Pendidikan adalah pendidikan moral
karena pembelajaran yang dilaksanakannya mengondisikan sikap dan perbuatan
bangsa dalam suasana yang luas dan penting dari hidup dan kehidupan serta
mental yang membuat warga berkarakter.
Sejarawan Arnold Toynbee memberikan judul karyanya
yang terkenal “Civilization on Trial”,
bukan “Culture on Trial”. Namun,
ketika dalam karyanya ini dia membahas sejarah peradaban China, dia jelas
menggunakan istilah civilization, baik peradaban maupun budaya. Kerancuan
pengertian ini bisa dijernihkan jika kita menganggap bahwa pada dasarnya
“budaya” dan “peradaban” mewakili konsep yang sama. Kebiasaanlah yang kiranya
memengaruhi penggunaannya. Dalam banyak hal, jangankan orang awam, para ilmuwan
pun tidak membedakan pengertian dari kedua istilah tadi dan memakai
kedua-duanya secara bergantian.
Demi memupus kerancuan, para pemikir Jerman pada
abad XIX telah mengetengahkan suatu solusi. Menurut mereka, walaupun Kultur
(budaya) dan zivilisation (peradaban) sama-sama menggambarkan perkembangan dan
kemajuan umat manusia, “budaya” mengacu pada aspek spiritual dari kehidupan
human, sementara “peradaban” merujuk pada aspek teknologisnya. Dengan begitu
mereka berkesimpulan bahwa istilah “budaya” meliputi bahasa, ilmu pengetahuan,
agama, pendidikan dan keterampilan (arts) sebagai faktor-faktor pengembang
pikiran manusia, sedangkan “peradaban” adalah istilah konseptual yang terkait
secara integral pada industri, teknologi, ekonomi, dan hukum, yang dibina untuk
mengontrol alam agar memenuhi kebutuhan manusia. Jika demikian, kita bisa saja
menulis “Sejarah Kebudayaan Nusantara”
di samping “Sejarah Peradaban Nusantara”
selama dan sejauh kita membahas aspek-aspek yang berbeda dari kehidupan
manusia-manusia di bumi Nusantara ketika itu. Ipso facto dengan pemaparan
budaya dan peradaban Majapahit, Sriwijaya, dan lain-lain. Jadi, bila kita
menerima perbedaan antara istilah budaya dan peradaban, kita anggap
masing-masing mewakili pandangan yang berbeda tentang fenomena yang sama, di
mana “budaya” berpembawaan deskriptif sementara “peradaban” valuatif. Asal usul
linguistik dari kedua istilah ini turut membantu pemahaman kita mengenai maksud
kedua istilah tadi.
Budaya atau culture berakar kata sama dengan
cultivation. Yang berarti menumbuhkan (growing)
atau “pembudidayaan” (cultivation).
Sementara istilah civilization berasal dari kata civic dan civil, yang
berkaitan dengan city (kota) dan citizen (warga kota). Kota dan warganya
menggambarkan tahap pembudidayaan yang maju atau wujud dari keberhasilannya.
Makhluk hewan bisa bertahan hidup (survive)
dengan mematuhi hukum-hukum alam. Hanya makhluk manusia yang membudidayakan
alam. Maka, pembudidayaan atau budaya menggambarkan hubungan yang spesifik
antara manusia dan alam. Menurut pengertian ini, baik manusia primitif maupun
manusia modern, sama-sama berorientasi budaya, culture oriented. Perbedaan antara masyarakat primitif dan
masyarakat modern hanya dalam karakteristik kebudayaannya masing-masing. Kedua
masyarakat tersebut dapat dievaluasi melalui eksistensi dan kualitas dari
pembudidayaannya masing-masing. Jadi, dari sudut pandang ini masyarakat human
dapat dibedakan satu dari yang lain. Peradaban adalah suatu pendekatan konsep
pembudidayaan, yaitu budaya yang berkembang ke satu tingkat tertentu. Berarti,
budaya perlu berkembang atau dengan sadar dikembangkan hingga ke satu tingkat
tertentu untuk bisa dikualifikasi sebagai peradaban.
Sejarah Budaya
Berhubung sejarah kebudayaan human berkembang dari
satu keadaan primitif, sejarah makhluk manusia harus dianggap sebagai sejarah
dari budaya dan bukan sejarah dari peradaban. Namun, harus diakui bahwa di satu
titik pada tahap peralihan perkembangan, kelihatan menonjol nilai-nilai serupa
pada budaya dan peradaban yang bisa dan sudah membingungkan tanggapan
pemerhati. Universitas berpotensi besar menjadi tempat refleksi tentang budaya
di zaman kemajuan teknologi modern. Manusia terdidik menciptakan
benda/peralatan untuk membuatnya punya lebih banyak waktu berpikir/meneliti. Let the machines do what they can do and let
us do what they cannot do, i.e genuine thinking. Namun, kita semua tahu
betapa kacaunya keadaan pendidikan nasional kita sebagai keseluruhan, tak
terkecuali lembaga pendidikan tinggi. Mereka sendiri masih memerlukan aneka
pembenahan normatif, relevan, keilmuan dan teknologis untuk bisa diandalkan.
Jika kemelut akademis ini tidak segera diatasi, kita pasti akan mengalami
krisis akademis dan kekacauan intelektual. Maka tanggung jawab pelaksanaan
seluruh jenjang pendidikan perlu dikembalikan ke bawah satu atap, menjadi
tanggung jawab hanya seorang menteri, yaitu menteri pendidikan dan kebudayaan.
Daoed
Joesoef, Alumnus
Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS, 30 November
2017
No comments:
Post a Comment