Kunjungan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz
al-Saud ke Indonesia telah menimbulkan ”kehebohan”. Jumlah rombongan yang amat
besar (1.500 orang) sungguh spektakuler. Wajar jika muncul berbagai ekspektasi
yang besar terhadap rombongan yang tidak lazim sebanyak ini, dengan durasi yang
juga panjang. Selain kunjungan tiga hari di Jakarta (1-3 Maret), Raja Salman
juga melanjutkan berlibur di Bali hingga 9 Maret 2017. Ini luar biasa.
Nama Bali akan mendapat promosi yang besar di
kalangan turis Timur Tengah. Ini momentum yang tepat. Sebab, saat ini tiga
maskapai terbesar Timur Tengah (Emirates, Etihad, dan Qatar) juga berencana
membuka penerbangan langsung dari Timur Tengah ke Yogyakarta. Diperkirakan, hal
ini baru terealisasi saat bandara baru Yogyakarta selesai dibangun pada 2019.
Ke depannya, Arab Saudi dan negara-negara Timur
Tengah bakal menjadi salah satu sumber turis asing yang potensial bagi industri
pariwisata kita, yang kini dilaporkan sudah berhasil mencapai 12 juta wisman
pada 2016. Bali, yang selama ini destinasi favorit turis Australia, Jepang,
China, dan Rusia, sebentar lagi juga akan didatangi turis Timur Tengah. Hal
paling menarik dari perekonomian terkini Arab Saudi adalah mereka sedang
terpukul oleh runtuhnya harga minyak, lalu ”banting setir” menjalankan
reformasi yang struktural. Pelajaran apa yang bisa kita petik? Apa persamaan
dan perbedaannya dengan Indonesia?
Sindrom ”Penyakit Belanda”
Arab Saudi adalah negara yang mengidap sindrom
”penyakit Belanda” (Dutch disease), yakni negara yang terpukul karena
perekonomiannya terlalu bergantung pada suatu komoditas primer, dalam hal ini
minyak. Tak tanggung-tanggung, harga minyak dunia pernah mencapai puncaknya 147
dollar AS per barrel (2007), lalu terkoreksi menjadi 115 dollar AS per barrel
(Juni 2014), kemudian terus anjlok hingga titik terendah 27 dollar AS per
barrel (Februari 2016). Merosotnya harga minyak hingga 70 persen menyebabkan
perekonomian Saudi terpukul. Betapa tidak. Anggaran pemerintahnya selama ini
terlalu bergantung pada minyak, mencapai 90 persen. Dependensi ini jauh lebih
besar daripada ketergantungan pada minyak oleh anggaran pemerintah
negara-negara produsen minyak besar lain, seperti Rusia dan Venezuela (50
persen atau lebih).
Akibatnya, Saudi terpaksa harus melakukan reformasi
ekonomi—suatu hal yang sebelumnya tak kita pikirkan. Selama periode
gonjang-ganjing perekonomian global, terutama sejak pertengahan 2013, cadangan
devisa Saudi merosot dari 800 miliar dollar AS menjadi saat ini sekitar 535
miliar dollar AS. Penyebabnya, kombinasi antara upaya menutup anggaran
pemerintah yang defisit besar (asumsi harga minyak 100 dollar AS per barrel
hanya terealisasi 40 persennya); dengan terjadinya arus keluar dana valuta
asing.
Pada periode ini, sebenarnya hampir seluruh dunia
mengalami pergerakan modal menuju ke AS. Namun, Saudi (kehilangan 265 miliar
dollar AS) dan China (kehilangan 800 miliar dollar AS) yang terbesar. Larinya
modal global menuju New York merupakan penjelasan kenapa indeks harga saham New
York terus melonjak hingga rekor baru 20.821.
Privatisasi Aramco dan Reformasi
Kehilangan devisa dalam jumlah besar memaksa Saudi
untuk melakukan berbagai inisiatif yang signifikan. Keputusan besar dan berani
pun diambil: Aramco, perusahaan minyaknya yang merupakan terbesar di dunia,
akan melakukan penjualan saham perdana (initial public offering/IPO) sebesar 5
persen. Ini akan menjadi rekor IPO terbesar sepanjang sejarah dengan perkiraan
penerimaan 100 miliar dollar AS. Pencapaian ini empat kali lipat daripada rekor
sebelumnya yang dipegang Alibaba milik Jack Ma (China), senilai 25 miliar
dollar AS (2014).
Valuasi perusahaan Aramco ditaksir 2,1 triliun
dollar AS. Sebagai perbandingan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia saja
”hanya” 850 miliar dollar AS, sedangkan PDB Arab Saudi 689 miliar dollar AS.
Dengan kata lain, nilai Aramco setara dengan lebih dari dua tahun PDB Indonesia
dan tiga tahun PDB Arab Saudi.
Privatisasi Aramco pada 2018 nanti sebenarnya tidak
hanya bermakna tunggal karena Saudi sedang memerlukan dana besar untuk
menyelamatkan APBN dan menghindari tergerusnya cadangan devisa lebih lanjut.
Penjualan saham ini, meski hanya 5 persen senilai 100 miliar dollar AS, menjadi
semacam pertanda bahwa Saudi mulai masuk ke era reformasi. Saudi harus berubah.
Meski rezeki minyak masih terus mengalir, masa depan harga minyak sulit
diharapkan tinggi.
Ditemukannya shale oil atau minyak nonkonvensional
oleh AS telah membuat dunia mengalami kelebihan pasokan (oversupply). Pada saat
yang sama, permintaan justru menurun seiring perlambatan ekonomi global. Masih
”agak beruntung” bahwa produsen-produsen besar, seperti Saudi dan Rusia,
akhirnya mau memangkas produksinya sehingga harga minyak kini stabil di sekitar
54 dollar AS per barrel.
Tak pernah terbayangkan bahwa Saudi yang kaya pun
pada suatu saat harus ”banting setir” melakukan reformasi ekonomi melalui jalur
privatisasi. Ketika Indonesia dulu melakukan privatisasi untuk menyelamatkan
APBN yang diterjang krisis 1998, timbul kritik keras bahwa privatisasi
dipersepsikan sebagai ”menjual negara”. Pada hampir semua kasus privatisasi
BUMN, biasanya didorong oleh dua motif. Pertama, untuk menolong APBN yang
defisit. Kedua, untuk meningkatkan kinerja melalui jalur transparansi dan
akuntabilitas.
Perusahaan minyak sebesar Aramco sekalipun perlu
bantuan untuk mendorong tata kelolanya. Sesuai teori X-efficiency oleh ekonom
Harvard, Harvey Leibenstein (1966 dan 1976), kinerja sebuah perusahaan bisa
ditingkatkan efisiensinya jika dioperasikan dengan disiplin tinggi. Masuknya
sebuah perusahaan ke bursa efek (go public) bakal banyak membantu pencapaian
ini. Karena itu, kasus Aramco mau masuk bursa seharusnya menjadi pelajaran
penting bagi Pertamina yang tahun lalu kinerjanya luar biasa (laba hampir 3
miliar dollar AS) agar menempuh jejak yang sama. Pertamina yang sebelum ini
terjerat perilaku perburuan rente ekonomi (rent-seeking behavior) akut—sebelum
kemudian dihentikan melalui pembubaran Petral pada 2016—seharusnya didorong
segera masuk ke bursa efek.
Jadi, kunjungan Raja Salman ke beberapa negara Asia,
selain kemungkinan menghadirkan investasi dari Saudi ke sini, sebenarnya juga
bisa dimaknai sebagai upaya roadshow mereka dalam rangka penjualan 5 persen
saham Aramco yang nilainya sangat besar. China dan Jepang sebagai kekuatan
ekonomi terbesar kedua dan ketiga di dunia jelas merupakan target pasar yang
potensial. Indonesia dan Malaysia, dengan skala yang berbeda, tentunya juga
tidak boleh diabaikan.
Karena itu, kunjungan Raja Salman ke Indonesia bisa
diibaratkan sebagai ”sambil menyelam minum air”. Bagi kita, Saudi memang
diharapkan menanamkan modalnya di Indonesia. Namun, sebaliknya, mereka pun juga
berpeluang mencari investor dari Indonesia untuk membeli saham perdana Aramco.
Nilai IPO Aramco yang sangat besar—ekuivalen dengan Rp 1.330 triliun—memang
harus dijajakan ke banyak negara, tidak cuma di China dan Jepang. Jumlah itu
setara dengan APBN Indonesia 2017 untuk delapan bulan!
Selain privatisasi parsial Aramco, Saudi tentunya
juga masih akan menempuh jalan reformasi yang panjang. Mereka harus mengubah
ketergantungan ekonomi yang terlalu tinggi terhadap sumber daya alam (minyak)
menuju ke perekonomian yang lebih beragam basisnya, yang terutama diarahkan ke
manufaktur (industrialisasi). Untuk menuju ke sana, Saudi akan lebih banyak
membelanjakan APBN-nya untuk memperkuat kualitas manusia.
Saudi juga menghadapi pekerjaan rumah besar terkait
kualitas sumber daya manusia. Dengan jumlah penduduk cepat bertambah hingga
kini 30 juta orang, pengangguran mencapai 11 persen, banyak disumbang oleh
kategori pengangguran sukarela. Pada industri migasnya, dominasi asing sangat
kuat, tergambar dari 80 persen tenaga kerja merupakan orang asing. Arab Saudi
juga mulai memangkas subsidi energi dan berbagai fasilitas bagi rakyatnya dalam
bidang pendidikan dan kesehatan (social security). Ketika harga minyak 100
dollar AS atau lebih per barrel, rakyatnya boleh saja menikmati zona nyaman.
Namun, periode itu kini sudah usai. Lebih baik Saudi bersikap konservatif dalam
memproyeksikan harga minyak, misalnya 50 dollar AS per barrel. Berarti, APBN
mereka harus dipangkas 50 persen. Rakyatnya pun harus rela menurunkan level
zona nyamannya.
Kapan Pertamina?
Reformasi yang kini ditempuh Saudi pada dasarnya
juga dijalani Indonesia. Ketika harga komoditas primer terjun bebas sejak paruh
kedua 2014, kita terperanjat dan lantas tergopoh-gopoh. Kita lalu menyadari
dengan sejumlah koreksi mendorong percepatan industrialisasi, bukan membiarkan
tren deindustrialisasi, yakni degradasi kontribusi sektor industri dalam
pembentukan PDB.
Sedikitnya ada tiga inisiatif fundamental. Pertama,
pembangunan infrastruktur besar-besaran untuk mendorong efisiensi dan daya
saing. Kedua, meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan untuk mendukung
percepatan industrialisasi. Anggaran pendidikan 20 persen terhadap APBN
dijalankan. Ketiga, struktur APBN diperbaiki. Fiskal yang sehat perlu dukungan
partisipasi masyarakat melalui pembayaran pajak yang benar. Banyak negara berkembang
suka terlena dalam hal perpajakan sehingga struktur fiskalnya sering
mengandalkan utang yang kian lama kian menumpuk. Kemandirian fiskal menjadi
prioritas, amnesti pajak pun dijalankan dengan relatif sukses.
Akhirnya, ada beberapa catatan penting tentang
kunjungan Raja Salman ke Indonesia. Pertama, hubungan ekonomi kedua negara bisa
saling menguntungkan. Kita butuh investasi dan turis dari Saudi, sedangkan
mereka pun menginginkan investor (termasuk dari Indonesia) bagi keberhasilan
privatisasi Aramco. Kedua, negara produsen minyak terbesar di dunia ini pun
ternyata harus ikhlas mendorong BUMN terbesarnya untuk ”melantai” di bursa
saham. Privatisasi BUMN merupakan sebuah keniscayaan bagi negara yang fiskalnya
sedang tertekan.
Belajar dari kasus Aramco, kenapa Pemerintah
Indonesia hingga saat ini belum punya cukup nyali untuk mendorong Pertamina
masuk ke bursa efek? Padahal, dampaknya pasti sangat positif. Privatisasi
Pertamina bakal berdampak positif terhadap kenaikan kapitalisasi bursa;
meningkatkan antusiasme investor karena kehadiran saham emiten yang terkemuka;
serta yang terpenting adalah menetapkan standar tinggi bagi tata kelola
Pertamina di kemudian hari. Jadi, kapan?
A Tony
Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta
KOMPAS, 03 Maret 2017
No comments:
Post a Comment